Kacamata Anda…!
Berbicara soal kacamata, dalam kehidupan ini terdapat berbagai macam kacamata dalam memandang sesuatu; misal, kacamata batin yang jernih akan menghasilkan pemahaman yang jernih pula, sebaliknya kacamata batin yang kabur keruh hasilnya akan menebar pemahaman yang keliru pula dalam memandang.
Begitulah adanya, kita bisa lihat sendiri bagaimana perbedaan kacamata yang digunakan oleh sebagian pihak dalam memandang; hal ini sudah familier buat kita bagaimana kacamata sekuler dalam memandang agama, maka dengan kacamatanya memandang agama bahwa ia harus dipisahkan dengan tatanan pemerintahan sebuah Negara dalam artian urusan politik, sehingga agama itu hanya dipandangnya sebagai amalan ibadah saja yang tidak ada sangkut pautnya dengan sebuah Negara.
Penulis tidak akan berbicara panjang dalam pembahasan kacamata diatas, hanya saja penulis ingin melontarkan sebuah kisah menarik tentang seseorang dalam ketaatannya beribadah. Nah, dari pembahasan kacamata tadi, seindah manakah kacamata anda yang akan anda kenakan dalam memandang kisah ini, adakah kacamata yang anda pakai dapat menghasilkan pandangan yang indah juga?.
Apa yang ada dalam benak kita ketika kita mengetahui seseorang dalam ketaatan, adakah hati kita tersentuh atau adakah kesan dan pesan yang bisa kita petik darinya. Atau mungkinkah kita hanya akan acuh tak peduli dan hanya memandangnya sebagai kisah yang menarik layaknya sebuah dongeng. Tentu anda sekalian mempunyai jawaban yang mungkin sama dan mungkin juga berbeda, semua tergantung bagaimana kacamata seseorang itu dalam memandangnya.
Coba kita simak perkataan Ahmad bin Abul Hawari, tokoh generasi tabiin tentang Abu Sulaiman Ad Darany yang dikenal sebagai ahli ibadah, “suatu hari saya mengunjungi Abu Sulaiman Ad Darany, aku mendapatinya sedang menangis. Aku bertanya, “apakah yang membuatmu menangis tuanku?” ia menjawab, “wahai Ahmad, sesungguhnya apabila malam sudah sunyi, para ahlul mahabbah (para pecinta Allah) menjadikan tapak kaki mereka sebagai alas mereka (berdiri shalat). Sedangkan airmata mereka bercucuran di pipi di antara ruku dan sujud. Jika mereka sudah dalam keadaan demikian Allah akan memperhatikan mereka dan mengatakan kepada malaikat-Nya, “wahai Jibril, demi saksi mata-Ku, barangsiapa yang merasakan kesenangan dengan kalam-kalam-Ku dan merasakan ketenangan dalam bermunajat pada-Ku, sesungguhnya Aku mendengar perkataan mereka dan aku melihat tangisan mereka. Wahai Jibril berserulah dan katakanlah pada mereka, “mengapa kalian Aku lihat begitu Cemas? Apakah ada orang yang mengatakan bahwa sesorang akan mengazab kekasihNya dalam neraka? Tidak pantas bagi seorang hamba yang hina melakukan itu, apalagi bagi Maha Raja Yang Maha Pemurah.
Demi kebesaran-Ku sungguh Aku akan memberi hadiah pada mereka pada waktu mereka dihadapkan pada-Ku di hari kiamat, Aku akan menampakkan wajah-Ku Yang Mulia pada mereka. Aku akan melihat kepada mereka dan mereka juga akan melihat-Ku.” (Mawaiz wal majalis/hal.239).
Air mata Abu Sulaiman Ad Darany, mungkin air mata kerinduan bertemu Allah SWT. Air mata kecintaan yang bergolak dalam batinnya untuk bertemu dengan kekasihnya, Allah SWT. Mungkin juga, itu air mata kekhawatiran, bila semua amal ibadah yang telah dilakukannya, tidak mencapai derajat sebagai golongan para kekasih Allah dan tidak termasuk kelompok para pecinta Allah. Bisa juga, air mata yang bercucuran di pipi Abu Sulaiman itu, adalah air mata ketundukan, keikhlasan, kepasrahan pada Allah atas semua yang akan ia terima di akhirat kelak. Air mata yang menandakan kekaguman, penghormatan, pemuliaan yang luar biasa atas kasih sayang dan rahmat Allah yang Maha segalanya itu. Subhanallah, walhamdulillah, wa laa ilaaha illallah, Allahu Akbar.
Kisah ini, merupakan kacamata salafusshalih dalam memandang sebuah ibadah, dalam hening malam yang sunyi senyap hanya berselimutkan gelap malam. Dan banyak sekali kacamata salafusshalih yang melontarkan ungkapan, isinya adalah suara kegelisahan batinnya. Kegelisahan yang muncul dari kesadaran kecil dan ketidakberdayaan dirinya dihadapan Allah SWT.
Beribadah, beramal, berjuang dan bekerja untuk meninggikan syariat-Nya. Mungkin saatnya kita menggunakan kacamata yang paling indah dalam memandang dan mengambil pelajaran terbesar dari sikap para salafusshalih yang selalu melakukan muhasabatun nafs, instrospeksi diri. Instrospeksi diri yang selalu ada setalah mereka mengerahkan semua kesanggupannya untuk berpaling dari kemaksiatan. Kekuatannya untuk tetap memantapkan pilihannya untuk mengikuti petunjuk kebenaran. “jika engkau melihat orang melakukan dosa, tidak perlu mencacinya. Tapi ingatlah dosa-dosamu karena Allah hanya menanyakan amal yang engkau lakukan,” begitulah salah satu nasihat Luqman kepada anaknya.
Dari sini, penulis mengajak pada setiap jiwa untuk menggunakan kacamata batin yang jernih sehingga dengan kacamata itu akan membuka kejernihan kita dalam berfikir dalam memandang sesuatu, sehingga kisah diatas tidak hanya di pandang sebagai sebuah dongeng saja, tapi paling tidak jiwa-jiwa yang jernih akan tersentuh dan kemudian dengan sehelai kain muhasabatun nafs akan membersihkan kacamata batin yang tadinya kabur keruh menjadi kacamata batin yang jernih hingga hujung nyawa.
Ya Allah, jadikanlah yang terbaik atas usia kami adalah pada akhir usia kami. Ya Allah jadikan yang terbaik dari amal-amal kami adalah penutup amal-amal kami di dunia. Ya Allah jadikanlah yang terbaik dari hari-hari kami adalah di saat kami bertemu dengan-Mu…! (By@Amienk).
Post a Comment